Cenit bersandar di dinding, gadis itu duduk
sambil memeluk kedua lututnya. Setengah busana atasnya masih rapi tapi
seluruh rok dan celananya sudah terbuka. Menampakkan kedua paha yang
putih mulus dan montok. Sementara tumpukan daging putih kemerahan
menyembul di sela rambut-rambut hitam yang nampak baru dicukur.
Sedikit tengadah dan dengan tatapan mata sendu ia berujar lirihA?a,?...
A|
“Masukkanlah, Kak! Aku juga ingin menikmatinyaA?a,?A|.”
Aku hanya terdiam.. kami sama-sama sudah membuka busana bagian bawah,
beberapa menit kemudian kami bergelut di pojok ruangan itu. Dengan penuh
nafsu ku tekankan tubuhku ke tubuh gadis itu. Ia membalas dengan
merengkuh leherku dan menciuminya penuh nafsu.
Tubuhnya terasa
panas dan membara oleh gairah, bertubi-tubi kuciumi leher, pundak dan
buah dadanya yang kenyal dan besar itu. Ia hanya melenguh-lenguh melepas
nafasnya yang menderu. Setiap remasan dan kulumanA?a,?A| diiringi
dengan erangan penuh kenikmatan.
Tanpa kusuruh ia membuka
sebagian kancing bajunya. Menampakkan onggokan buah dada yang membulat
dan putih. Tanpa membuka tali beha ia mengeluarkan buah dadanya itu dan
mengasongkannya ke mulutku.
Dengan rakus kukulum buah dada
besar Cenit sepenuh mulutku. Ia mengerang antara sakit dan enak. Nafasku
pum semakin tersendat, hidungku beberapa kali terbenam ke bulatan
kenyal dan hangat itu.
Puncak dadanya basah oleh air liurku
yang meluap karena nafsu. Licin dan agak susah meraih puting susunya
yang mungil kemerahan itu. Jelas sekali kulihat proses peregangannya.
Semula puting susu itu terbenam, namun dalam sekejap saja dia keluar
menonjol dan mengeras.
Cenit tahu susah mengulumnya tanpa
memegang karena aku mencengkram erat leher dan pinggang gadis itu. Tanpa
menunggu waktu ia memegangi buah dadanya dan mengarahkan putingnya ke
mulutku.
Aku pun mengulumnya seperti bayi yang kehausan.
Mengulum dan menyedot sampai terdengar berbunyi mendecap-decap. Kulihat
gadis itu, dalam sayu matanya merasakan kenikmatan, bibirnya tersungging
senyuman dan tawa kecil. ‘Gigit sedikit, Kak.’ pintanya padaku.
Aku menuruti kemauannya, dengan gigiku kugigit sedikit puting susunya.
‘AihA?a,?A|.’ Jeritnya lirih sambil menggigit bibir. Barangkali ia
tengah merasakan sensasi rangsangan nikmat luar biasa di bagian itu.
Kurasakan tubuhnya melunglai menahan nikmat.
Kemudian tubuh
kami saling mendekap semakin rapat. Gairah dan rangsangan nikmat
menjalar dan memompa alirah darah semakin kencang. Secara naluriah aku
menyelusuri tubuh sintal Cenit.
Mulai dari leher, terus ke
punggung, meremas daging hangat di pinggulA?a,?A| terus ke bagian bawah.
Akhirnya menyelip di antara paha. Gadis itu membuka pahanya sedikit,
mengizinkan tanganku menggerayangi daerah itu.
Dalam pelukan
erat, tanganku mencoba masukA?a,?A| ehm.. bagian itu terasa hangat dan
basah. Cenit menggeser pantatnya sedikit. Kedua matanya memejam sembari
menggigit bibir , desah-desah halus keluar tak tertahankan. Detak
jantungku semakin kencang ketika kubayangkakn apa yang terjadi di’sana’.
Gadisku menggelinjang, nafasnya sesekali tertahan, sesekali ia seperti
menerawang, apa yang dia harapkan? Aku tahu, dia menginginkan itu, dia
mendorong-dorongkan pantatnya ke depan, agar bagian itu lebih tersentuh
oleh jemariku.
Dengan penuh pengertian aku pun turunA?a,?A| dari
leherA?a,?A| buah dada.. wajahku terseret ke bawah, menikmati setiap
lekuk liku tubuhnya yang hangat. Setiap sentuhan dan gesekan menimbulkan
rintihan lirih dari mulutnya. Wajahnya menengadah, matanya setengah
terpejam, bibir agak terbuka, dan sedikit air liur menetes dari salah
satu sudutnya.
“Teruskan, kakA?a,?A| jangan hentikan..!”
pintanya. “Puaskan akuA?a,?A|.?” katanya lagi tanpa rasa sungkan. Yah,
tak ada rahasia di antara kami. Apa yang dia inginkan untuk memuaskan
hasratnya, pasti dia minta, kapan saja kami bertemu. Begitu pula
akuA?a,?A| kalau lagi pingin, dia pasti kasih.
Perlahan aku
menyusuri tubuhnya ke bagian bawah. Sekarang aku sudah di atas perutnya
yang mulus. Aku bermain-main sebentar di sana. seluruh tubuh Cenit
memang sangat menggairahkan. Tidak ada lekuk tubuhnya yang tidak indah.
Aku sangat menikmati semuanya.
Tiba-tiba Cenit memegang
kepalaku, meremas sedikit rambutku dan mendorong kepalaku ke bawah.
“Ayo, Kak, udah gak tahan nih..! Jangan di situ aja dongA?a,?A|.Aih..”
Aku menurutA?a,?A|. Dulu aku bilang aku ingin merasakan dan menjilati
kemaluannya, dia bilang hal itu menjijikkan. Dalam keadaan terangsang
dia sangat menginginkanya.
Sesampai di bagian ituA?a,?A| aku terpana
menyaksikan pemandangan indah terbentang tepat di depan mataku.
Setumpuk daging berwarna kemerahan berkilat di celah-celahnya A?a,?A|
Bagian itu, bibir kemaluan Cenit yang merah dan basah dipenuhi cecairan
lendir yang bening. Dengan kedua jari telunjuk ku buka celah itu lebih
lebar… Klentitnya menyembulA?a,?A| nampak berkedut karena rangsangan
nikmat tidak terkira.
Berkali-kali ia berkedutA?a,?A| setiap
denyutan dibarengi dengan nafas dan rintih tertahan gadis itu. Aku
memandang ke atas. Ke arah payudaranya yang terbuka, putingnya semakin
mengeras. Nafasnya terengah-engah, buah dada Cenit yang putih itu nampak
naik turun dengan cepat. Kulihat lagi kemaluan gadisku ituA?a,?A|
semakin merah dan merekah. Kubuka lagi dengan dua telunjukkuA?a,?A|
cairahn kental pun mengalir deras. Meluap dan merembes sampai ke sela
paha, persis seperti orang yang sedang ngiler.
Cairan itu terus
mengalir perlahanA?a,?A| sampai ke arah anus. Kemudian perlahan
berkumpul dan akhirnya menitik ke lantai. Semakin lama semakin banyak
titik-titik lendir bening yang jatuh di lantai kamar itu.
Terasa ia merenggut rambutkuA?a,?A| dan menekankan kepalaku ke arah
vaginanya yang sedang terangsang itu. Aku pun semakin bernafsuA?a,?A|.
Dengan penuh semangat aku pun mulai mengulum dan menjilati seluruh sudut
kemaluan CenitA?a,?A|
“AhhA?a,?A|. AhhhhA?a,?A| nikmat sekali,
Kak!” Cenit merintih, tubuhnya menegang, cengkramannya di kepalaku
semakin kuat. Pahanya mengempot menekan ke arah mukaku, sementara
kemaluannya semakin merah dan penuh dengan lendir yang sangat licin.
Aku pun semakin dalam menusuk-nusukkan lidahku ke liang senggamanya.
Beberapa kali klentitnya tersentuh oleh ujung gigiku, setiap sentuhan
memberi pengaruh yang hebat. Gadis itu melolong menahan nikmatA?a,?A|
aku terus menyelusuri bagian terdalam vaginanya. OhA?a,?A| hangat dan
sangat-sangat basah. Tak bisa kubayangkan kenikmatan apa yang
dirasakannya saat ini. barangkali sama nikmatnya dengan rangsangan yang
kuperoleh dari kemaluanku yang juga sudah mengeras sedari tadi.
Rasanya sangat nikmat dan tergelitik terutama di bagian pangkalA?a,?A|
rasanya ingin aku melepaskan nikmat di saat itu juga. Tapi aku harus
menyelesaikan permainan awal ini dulu, gadis ini minta untuk segera di
tuntaskan.
Semakin aku memainkan kemaluannya, semakin ia
mengempot dan menekankan kepalaku ke arahnya. Sesekali aku menengadah
menatap wajahnya yang merah. Tampak ia menghapus air liurnya yang
mengucur dengan lidahnya yang merah itu.
Tiba-tiba ia tertawa
mengikikA?a,?A| seperti ada yang lucu. Ia mengusap wajahku yang
bergelimang cairan vaginanya. Sambil memandangku penuh pengertian.
“Lagi, Kak” pintanya.
Aku mengulangi lagi kegiatan itu, ia pun
kembali merintih-rintih menahan rangsangan hebat itu di kemaluannya.
Beberapa kali klentit itu kusentuh dengan ujung gigiA?a,?A|.
Tiba
saatnya, dia sudah sampai mendekati puncak. Nafas semakin memburu dan
tubuhnya menegang hebat beberapa kali. Tanpa sungkan lagi, ia
mengeluarkan lolongan penuh kenikmatan ketika rasa enak itu tibaA?a,?A|
“OhhhhhA?a,?A| hhhhA?a,?A|ahhhhhhhhA?a,?A|” jeritnya lepas. “Enak sekaliA?a,?A|”
Pantatnya mengempot ke depan setiap denyutan nikmat itu menyergap
vaginanyaA?a,?A| dan setiap denyutan diiringi dengan keluarnya cairan
yang lebih banyak lagi. Beberapa cairan itu bagaikan menyembur dari
liang senggamanya, aku mundur sebentar, melihat bagaimana bentuknya
vagina yang sedang mengalami orgasme.
Tegang, merah, basahA?a,?A|
berkedut-kedut, cairan pun membanjir sampai ke kedua pahanyaA?a,?A|..
mengalir dengan banyaknya sampai ke mata kakiA?a,?A| Aku pun tidak tahan
melihat keadaan itu, cepat aku berdiriA?a,?A| mengasongkan kemaluanku
yang sudah tegang itu ke arahnya.
Ia memelukku, terasa tubuhnya
bersimbah peluh, wajahnya yang memerah karena baru melepas nikmat itu
disusupkannya ke leherku. Memelukku semakin kuatA?a,?A|
“Puaskanlah dirimu, Kak!”
Aku pun mendekap tubuh sintal itu semakin erat. Rasa nikmat berkecamuk
di titik kemaluanku. Terasa semakin menegang dan mengerasA?a,?A|. Tapi
aku ingin merasakan sensasi yang lain.
Kuturunkan kepala gadis
itu ke bagian itu. Ia menurut, perlahan ia menyusuri tubuhku dari dada
terus turun ke bawah. Seperti yang kulakukan tadi, mulutnya menciumi
perutku dan terus turunA?a,?A| sesampai di bagian itu ia memandangi
penis yang selama ini selalu dia senangi.
Ia menengadah..
memandangku dengan senyuman nakalA?a,?A|. “Besar sekali punyamu, Kak!
Ini untukku untuk selamanya,” katanya sambil mengelus dan mulai meremas
pangkalnya. Aku terkesiapA?a,?A| jemari lembut itu mulai mengocok-ngocok
kemaluanku dengan penuh cinta.
“Nikmatilah, Kak! Aku ingin
kamu menikmati dan merasakan kenikmatan seperti yang aku rasakan, kamu
milikku, tidak boleh untuk orang lainA?a,?A|.” Aku mengangguk sambil
tersenyum, perempuan kalau sudah cinta dan ingin pasti mau melakukan apa
saja.
Perlahan ia mulai mengocok pengkal kemaluankuA?a,?A| sesekali
ia mengecup bagian kepalanya yang seperti topi baja itu. Lembut dan
penuh kasih sayang. Beberapa kali pula ia menempelkannya di pipi sambil
matanya terpejam.
“Ohh.. inilah yang aku impikan selama ini. Kepunyaanku milik kekasihku yang perkasaA?a,?A|”
Kemudian ia meningkatkan kocokannya, kedua jemari tangan menggenggam
dan meremas-remas menimbulkan rasa geli luar biasa. Kemaluanku semakin
menegang menahan nikmat.. keras dan enak.
Gadis itu sangat
lihai mempermainkan jemarinya, seolah dia turut merasakan apa yang
kurasakan. Sambil terus jongkok dan menciumi pangkal kemaluanku
jemarinya terus juga digesekkannya.
Akhirny aku pun tak tahan
lagiA?a,?A| aku merenggut rambut di kepalanya, tubuhku pun menegang. Aku
mendorong pantatku ke depan, pahaku mengejang menahan sesuatu yang
bakal kukeluarkan.
“CenitA?a,?A|” kataku sambil mencengkram
rambutnya. Ia menatapku, wajahnya tepat di ujung kemaluanku yang sedang
dicengkeramnya. Gadis itu tersenyum kecilA?a,?A|. Dia senang menatapku
yang sedang dalam puncak nikmat.
Maka, sambil setengah
terpejam, aku pun mengeluarkan segalanya, kemaluanku meledak dalam
genggaman tangan Cenit, menyemburkan air manikyang sangat banyak,
mengenai seluruh muka gadis itu. Sebagian ada yang menyembur dan kena ke
rambutnya. Kelopak mata gadis itu berkedip menahan serangan air mani
yang mendarat di wajahnyaA?a,?A|
“HhhhA?a,?A|hhhh.hh,” perlahan nafasku mulai teraturA?a,?A| puncak itu sudah sampai, nikmat tak terlukiskan kata-kata.
Cenit bangkit berdiri dan menuju pojok ruangan. Paha dan pantat
mulusnya nampak gemulai ketika ia melangkah. Gadis itu mengambil baju,
mengusapkannya di wajah yang penuh cairan mani. Menoleh ke arahku sambil
tersenyum, kemudian berjalan ke arahku. Merentangkan kedua tangan,
memelukku dan menempelkan pipinya di pipiku.
“Enak ya, Kak”
Aku mengangguk, memeluk tubuh yang masih bersimbah peluh itu. Memandang
matanya lekat-lekat. Ia membalas tatapanku, “Aku sangat mencintaimu,
Kak. Kaulah milikku dan milikilah aku selamanyaA?a,?A|”
Entah berapa lama kami berpelukan sambil berdiri.
Ketika angin berdesir melalui kisi-kisi jendela, terasa semuanya sudah
mengendur. Jiwa dan raga sudah terpuaskan. Sekarang waktunya merapikan
pakaian, duduk mengobrol di ruang tamu. Sebentar lagi teman-teman kost
kekasihku akan pulang. Kami akan mengobrol di ruang tamu, bercanda,
seperti tidak ada kejadian apa pun sebelumnya.
Tiba-tiba gadis
itu berdiri seperti tersentak kaget. Ia memandangku sambil tersenyum
kecil. Aku tak mengerti ketika ia menunjuk dengan sudut matanya ke arah
lantai. Ha ha haA?a,?A| hampir lupa, cairan itu masih berserak di
lantai. Buru-buru ia pergi ke belakang dan kembali dengan secarik kain.
Perlahan dia lap lendir-lendir itu dengan kain tadi.
“Ini
punyakuA?a,?A|” katanya sambil menunjuk setitik cairan. “Dan ini
punyamu, Kak!” hehe aku tersenyum. “Dari mana kamu membedakan keduanya?”
tanyaku sambil mengambil sebatang rokok.
Seraya bangkit dan tertawaA?a,?A| “Punya perempuan dan laki-laki jelas beda. Punyaku lebih beningA?a,?A|”
“Tapi punyaku lebih enak kan?” kataku bercanda.
“Iya dong sayangA?a,?A|. ” katanya seraya menghampiriku dan mengusap
wajahku penuh kasih dan sayang. “lain kali kita masukin ya . Kak. Aku
ingin lebih menikmatinya..” bisik gadis itu, “Aku ikhlas demi
KakakA?a,?A|” bisiknya lagi di telingaku. Ia melingkarkan tangannya di
leherku, aku pun memeluk tubuh sintal dan bermandi peluh itu lebih erat.
Malam belum begitu larut ketika aku dan Liani sedang asyik bercinta di
ruang tamu rumah kostnya. Tubuh montok gadis itu terbaring pasrah di
atas dipan sederhana yang terletak di salah satu sudut ruangan. Sedari
tadi punyaku keluar masuk menyelusuri seluruh lipatan kemaluan gadis
itu.
Berkali-kali gadis itu menggeram menahan rasa. Lipatan
basah dan hangat itu terasa sesekali menyempit. Dia sungguh menikmatinya
gesekan-gesekan itu, aku juga. Yang hebatnya, gadis satu ini sepertinya
tidak memerlukan foreplay. Kami langsung melakukannya begitu saja.
Cukup dengan tatapan mata, kami sudah tahu apa yang kami inginkan,
kepuasan di malam yang basah oleh rintik hujan ini.
Jam delapan
malam aku ada janji dengan Cenit kekasihku untuk bertemu di rumah kost
khusus putri ini. Padahal malam ini bukan malam minggu seperti biasanya
kami bertemu. Tapi dia sms aku minta ketemuan, ada yang penting katanya.
Aku paham yang penting itu apa.
Yang aku tidak mengerti ketika
aku tiba di rumah kost itu, ternyata dia tidak ada. Liani teman sekost
nya yang menyambutku. Dia suruh aku masuk dan ketika kutanyakan kemana
Cenit, dia bilang sedang keluar sebentar, ada perlu dan dia pergi dengan
Rinay kawan sekampungnya. Dia bilang, kata Liani, suruh tunggu saja
nggak akan lama kok. Liani, gadis lain desa yang bertubuh tinggi
semampai berkulit putih dan berambut panjang itu menyuruhku duduk.
Tak lama dia pergi ke belakang , mau bikin minum katanya. Aku manut
saja seraya mengambil sebatang rokok. Diam-diam kerhatikan tubuh gadis
itu dari belakang ketika berlalu. Cukup lumayan, tinggi dan lumayan
montok. Apalagi malam ini dia hanya menggunakan sehelai baju tidur
sebatas lutut tanpa lengan. Menampakkan gumapalan-gumpalan indah khas
gadis desa yang terbiasa bekerja cukup keras.
Tak terasa aku
menghela nafas sambil menyaksikan pemandangan tubuh Liani yang gemulai
menuju ke ruang belakang yang agak gelap itu. Pantatnya lumayan besar
dan berisi, sementara kedua betis tampak putih mulus dengan tumitnya
yang kemerahan. Kalau tidak ingat Cenit kekasihku, mungkin gadis ini pun
sudah kupacari, tapi katanya dia sudah punya pacar, entah siapa aku
belum pernah ketemu dengan lelaki yang katanya jadi pacarnya itu.
Tak lama kemudian gadis itu kembali sambil membawa nampan dengan
segelas air putih. “Maaf, Bang, cuma ini yang aku sediakan,” katanya
sambil setengah embungkuk meletakkan gelas itu di meja di hadapanku.
Tanpa sadar belahan dada gaun tidur gadis itu agak melorot, menampakkan
dua bulatan putih yang mau tidak mau merasuk ke mataku. Kuakui tubuhnya
sangat sintal. Walaupun tinggi semampai, tubuh itu tampak padat dan
berisi. Buah dadanya tampak menantang tatkala ia berdiri.
Liani
mengibas-ngibaskan rambut panjangnya di depanku. Bibirnya tersenyum.
“Ada perlu apa, Bang? Kok tumben nggak malam mingguan ke sininya?”
tanyanya sambil membenahi rambutnya yang indah itu. Ia menatapku dari
sudut matanya.
Gadis yang satu ini memang memanggilku dengan
sebutan ‘Bang’, tidak seperti yang lain memanggilku’Kakak’. Aduhai
tubuhmu Liani sangat sintal dan lagak lagumu malam ini seperti bukan
kepada orang lain saja.
Gadis itu duduk dengan santainya di
depanku sembari memegangi nampan di perutnya. Tak ada canggung sedikit
pun ketika mengangkat kedua kakinya dan membiarkan gaunnya yang selutut
itu tertarik sampai ke batas paha. Aku menelan air liur ku sendiri. Di
rumah kost yang sepi ini hanya kami berdua sementara Cenit dan Rinay
entah ke manaA?a,?A|.
“Masih lama mereka kembali, Liani?”
tanyaku asal saja sambil meraih gelas minumku. Gadis itu menatapku
lurus-lurus di mataku. Entah apa yang ada dalam benaknya malam ini.
“Entah.” Katanya sambil menggeliat, merentangkan tangannya, kedua
pangkal lengannya terangkat ke atas menampakkan ketiaknya yang bersih.
“Mungkin dua puluh menit atau setengah jam lagi mereka kembali. Katanya
ada perlu, Bang.” Gadis itu menguap dengan enaknya di depanku. Kemudian
ia menengadah menampakkan lehernya yang putih mulus itu. Hmm.. gadis
ini agak-agak mirip Chinese walau sebenarnya bukan. Tapi terus terang
aku cukup tertarik dengan kesintalannya.
“Kenapa gitu, Bang? Bosen yaA?a,?A| Nggak sabar ingin cepat ketemu.”
“Tahu aja perasaan orangA?a,?A|” jawabku sambil tertawa kecil.
“HmmA?a,?A| tahu dong. Nggak sabar pengenA?a,?A| ”
“Pengen apa, hayo!”
“Pengen A?a,?A| ‘itu’ yaA?a,?A| ” katanya nakal sambil terkekeh.
“Itu apa? Itu A?a,?A| kalau itu kamu juga punya kan?” kataku agak sembrono. Gadis itu
merapikan posisi duduknya agak cepat. Tapi kemudian dia santai lagi
sambil terus menggeliat, seolah ada kepenatan yang hendak dilepaskan
dari tubuhnya itu. Dua gundukan dada itu menyembul dari balik gaun
tidurnya yang berwarna biru itu. Tampak tali behanya yang berwarna
hitam.
“Ngeliatin apa sih?” katanya sambil memperbaiki tali
kutang yang agak melorot di bahunya. “Nggak.” Jawabku sekenanya. Ku
lihat ia menatapku tajam. Aku balas menatap. Wajahnya tampak memerah.
Aku menahan nafas. Apa rasanya gadis ini? apa bedanya dengan Cenit
kekasihku?
Pikiran-pikiran itu berkelebat cepat begitu saja.
Seolah dunia sudah jungkir balik. Tak ingat lagi dengan Cenit, dengan
Rinay temannya yang barangkali akan pulang. Aku pun bangkit, meraih
tangan gadis itu. Liani diam saja, tapi dia tersenyum sambil tertawa
sedikit.
“Nggak ada waktu, KakA?a,?A|” katanya pelan tapi
membalas remasan tanganku. Kuselipkan jemariku di jemarinya, dia
membalas. Matanya menatapku seolah mengatakan, kalau ingin melakukannya
lakukanlah sekarang juga mumpung Cenit dan Rinay belum pulang. Dan itu
tidak masalah apakah mereka akan tahu atau tidak, aku pandai menjaga
rahasia.
Bisikan-bisikan itu mengiang di telingaku semakin
membuat gairahku bangkit. Apalagi jika kulihat tubuh Liani yang montok
dan dadanya yang naik turun menahan nafas yang mulai terengah.
Semakin lama remasan semakin erat. Tubuh kami semakin merapat dan terasa
tubuh gadis itu memanas. Entah oleh nafsu entah oleh hasrat yang
tertahan. Tidak, aku tidak akan menyia-nyiakan kehangatan yang
disuguhkan gadis ini, meski bukan kekasihku, tapiA?a,?A| perselingkuhan
selalu terasa nikmat.
Dia memang beberapa tahun lebih tua dari
gadisku, cenderung lebih dewasa, tapi tak kusangka dia menyimpan
kehangatan dan hasrat memadu cinta yang begitu terpendam dan panasnya
memancar di malam ini.
“KakA?a,?A| di dipan itu aja, yuk.”
Ajaknya. Senyumannya dari wajahnya yang memerah kelihatan agak genit.
Aku setuju, walau pun cuma dipan beralas kasur tipis jadilah. Yang
penting aku bisa menikmati tubuhnya malam ini.
Maka, seperti
orang kesetanan sambil berpeluk erat kami melangkah ke arah dipan. Di
pinggir dipan ia melepaskan pelukanku, dan perlahan tapi pasti
menurunkan gaun tidurnya.
Aku hanya bisa memandang mengagumi
tubuhnya yang putih mulus dan penuh padat berisi itu. Sementara
menurunkan celana dalamnya ia memandangku sembari menatap ke arah bawah.
Oh, aku belum membuka celana panjangku, terlalu mengagumi
kemolekannyaA?a,?A|.
Tak lama kemudian kami sudah berpelukan
hampir tanpa busana. Dia berada di bawah dalam posisi tradisional. Siap
dan menanti untuk dimasuki oleh lelaki yang bukan kekasihnya ini.
Kalau Cenit memerlukan fore play yang cukup lama sebelum terbangkitkan,
dia barangkali tidak memerlukan itu. AtauA?a,?A| “Kalau malam
beginiA?a,?A| aku selalu membayangkan bersamamu, Bang. Bisiknya di
telinga, kedua tangan melingkar erat di leherku. Pipinya menempel erat
dipipiku.
“Benarkah?” jawabku sambil mencium pipi hangat itu.
Liani mengangguk. “Kadang bayanganmu begitui jelas seolah merasuki
tubuhkuA?a,?A|. Kalau begitu aku sukaA?a,?A| emmh.. basah, Bang.”
“Oh, ya?”
“IyaA?a,?A| coba kamu rasakan, Bang.” Katanya sambil menggerakkan
pantatnya, menggesekkan tumpukan kemaluannya di batang penisku. Ya,
terasa hangat dan basanA?a,?A|
“Sebelum kamu datang, aku sudah
membayangkan dirimu.. emhhmmmA?a,?A| tanpa sadar ‘dia’ pun A?a,?A| sudah
basahA?a,?A| Aku mencium telinga Liani, dia seperti merinding.,
tubuhnya menggelinjang karena merinding kegelian.
“KadangA?a,?A|” bisiknya lagi, “Keluar banyak sekali, sampai membasahi celanakuA?a,?A| sekarang juga udah begitu, Bang.”
Ya, aku rasakan itu, sangat hangat dan sangat basah. Penasaran aku
menyelusupkan jemariku ke daerah itu. Ya ampun! Sepertinya aku
memasukkan tanganku ke seember lumpur yang hangat. Tak disangka, gadis
pendiam ini ternyata menyimpan bara begitu panas. Sebuah rahasia yang
selama ini dia pendamA?a,?A|
“Masukkan punyamu, Bang!” pintanya
A?a,?A| “Aku udah gak tahan lagi, sedari tadi aku menahan rasa
terhadapmuA?a,?A| jangan sia-siakan malam iniA?a,?A| walau sebentar, aku
akan puasA?a,?A|.”
Gadis itu menggelinjang sekali lagi,
membetulkan posisi berbaringnya dan membuka pahanya sedikit lebih lebar
agar mudah aku menggelosorkan kemaluanku ke liang senggamanya yang
hangat itu.
Terasa meluncur dengan lancar memasuki kemaluan
gadis itu. Terus masuk dan membenam sambil ke celah yang paling dalam.
Gadis itu mengetatkan pahanya dan pantatnya mulai bergoyang ke kiri da
ke kanan.
Tubuhnya terasa semakin memanas. Pelukannya begitu
erat dan buah dadanya yang menempel menekan ke dadaku. Dia sudah begitu
bernafsu, nafsu yang di pendam lama dan ingin di lepaskan dalam
pelukanku malam ini juga.
Terus terang di menit-menit penuh
cinta itu aku tidak ingat lagi dengan Cenit. Gadis ini butuh dipuaskan.
Hasrat yang sudah menyeruak tidak bisa lagi di tarik surut ke dalam.
Segala rem sudah di lepas dan kami pun melayang tanpa kendali menikmati
semuanya malam iniA?a,?A|.
Kurasa hujan di luar semakin deras.
Titik air yang berjuta-juta itu seolah berlomba terjun ke bumi
menimbulkan suara gemuruh tidak henti-hentinya. Tapi gemuruh itu tak
sedahsyat gemuruh nafsu kami berdua, aku dan Liani yang tengah menikmati
cinta.
Entah sudah berapa kali batang kemaluanku keluar masuk
liang senggamanya. Sudah berapa kali pula dia menggepit-gepit dan
memelukku dengan erat dengan kedua tangannya. Entah berapa kali ia
terengah dan menggelinjang menggeram penuh nikmat.
“HhhhhhA?a,?A| ehhhhhhh..hhhhhhA?a,?A|.” erangnya setiap kumainkan dan
kutekan pantatku ke kemaluannya. Luar biasa, setiap tekanan ke bawah di
balasnya dengan tekanan ke atas.
Kurasa sudah sepuluh menit aku
mengayun pinggul di atas tubuhnya. Liang kemaluannya terasa semakin
rapat dan sangat licin, mencengkram kuat batang kemaluanku yagn
menegang.
Aku kendurkan sedikit gerakanku. Mengalihkan
perhatian ke tubuh bagian atas. Liani mengerti, ia meregangkan tubuhnya
menarik kepalanya ke belakang, membiarkan buah dada besar yang putih
berkeringat itu meenyeruak dari pelukanku. Buah dada gadis desa yang
besar dan kenyal, tidak seperti payudara anak-anak kota yang besar tapi
loyoA?a,?A|.
Dua gumpalan kenyal itu pun kusergap dengan
mulutku. Ku lahap dan kukunyah-kunyah sepuas hati. Putting susunya yang
merah itu ku kulum dan kuhisap-hisap sambil kugigit sedikit.
Hanya sebentar saja, gadis itu menjerit tertahanA?a,?A|.
“Ohhh.. geli, Bang!” aku terus mengulumA?a,?A|. Berganti ke kiri dan ke
kanan, kemudian tanganku pun meremas-remas pangkal payudara Liani
dengan gemas. Sangat kenyal, hangat dan enak rasanya.
“Aku udah
gak tahan lagiA?a,?A| Bang,” rintihnya lirih, tubuhnya semakin panas
dan berkeringat, tubuhku juga sama. Dalam hawa malam yang cukup sejuk
karena hujan itu seolah tubuh kami mengeluarkan uap. Tubuh bugil
bermandi keringat yang mengebulkan asap nafsu birahi tak tertahankan.
Setelah puas dengan buah dada kenyal itu, aku memeluk punggung gadis
itu. Kurasa dia mengangkat lututnya, menggepitnya di pantatku. Kemudian
ia menurunkan kedua tangannya dan memelukku di pinggang.
“Tekan-tekan lagi, BAng.” pintanya.
Aku juga sudah pingin merasakan gesekan kemaluannyai. Sambil saling
berpagut erat aku mengayunkan lagi pantatku di atas rengakahan pahanya
yang montok itu. Dia pun semakin menggepitk-gepitkan kakinya.
Sekarang kami konsentrasi ke setiap gesekan, setiap lipatan, setiap
senti dari liang kemaluan Liani. Malam ini sunguh hanya milik kami
berdua. Gesekan-gesekan itu semakin lama semakin berirama. Sementara
Liani melakukan aksi yang menambah kenikmatan, ia menggepitA?a,?A| lalu
menahan. Gepit tahan gepit tahanA?a,?A|. Oh tak terlukiskan enaknya
bercinta dengan gadis ini.
Gesekan itu semakin intens kami
lakukan. Sampai-sampai kami tak sadar kalau hujan sudah berhenti. Malam
di luar terasa heningA?a,?A|. Tapi di atas dipan yang berbunyi
kriak-kriuk ini dua tubuh saling memompa berpacu mengejar waktu. Takut
kalau Cenit dan Rinay keburu pulang.
Aku pun mempercepat
ayunankuA?a,?A| sehingga di malam yang menjadi sunyi ini terdengar jelas
suara penisku yang keluar masuk ke kemaluan Liani. Beradu rsa dalam
limpahan cairan kemaluan Liani..
‘Crekk.. Crekk.. Crekkk. CrekA?a,?A|Crekkk.. CrrekA?a,?A|.
Kejantananku naik turun menggesek lipatan-lipatan dinding kemaluan
gadis itu. Bunyinya terdengar jelas sekali di telinga kami berdua.
Sesekali kutekan akan kuat, gadis itu membiarkan dan menerima tekanan
itu, menggeolkan pantatnya berkali-kali agar kelentitnya lebih tersentuh
pangkal atas kemaluanku yang keras.
“Tekan terus, Bang.. aihh…”
Aku menekan lagi sambil menggerakkan pantat ke kiri dan ke kanan.
Mungkin dia merasa gatal dan ingin gatal itu digaRinay sampai
tuntasA?a,?A|. PenggaRinaynya adalah batang kemaluanku yang dia cengkram
dan dia benamkan sedalam-dalamnya.
“Ohhh..ohhhhhhhhh,” lolong
gadis itu melepas nikmat. Seluruh liang senggamanya berkedut-kedut dan
sembari menggepit kuat. Tubuh Liani menggelinjang dan menegang menahan
rasa enak ketika ia mengeluarkan air mani kewanitanya.
“EughhhA?a,?A|hhhhhA?a,?A| euuughhhhhA?a,?A|.. ahhhhhA?a,?A| ” rintihnya
sambil menyurupkan wajahnya ke leherku, lehernya nafasnya menderu, air
liur berceceran dari bibirnya yang merah.
Saat itulah aku pun
bersiap hendak keluar dan menyemburkan kenikmatan di kemaluanku. Tapi
sesuatu menyebabkan aku berhenti A?a,?A|Masih dalam keadaan bersetubuh
dengan LianiA?a,?A| ada sekelebat bayangan melintas. Aku memandang
dengan ujung mataku, di lantai tampak ada dua bayangan seperti diam
terpaku. Aku pun terkejut A?a,?A| bayangan siapa itu?
Perlahan
kulihat wajah Liani yang matanya masih setengah terpejam. Kemudian
matanya perlahan terbukaA?a,?A| Dia pun melihat bayangan itu dan menatap
langsung ke ruang tengah. Samar-samar di bola matanya yang hitam itu
kulihat dua sosok berdiri menatap ke arah kami.
Itu bayangan
Cenit dan Rinay! Rinayanya sudah beberapa menit tadi mereka berdiri di
sana, menatap kami yang sedang asyik memagut cinta. Apakah mereka tadi
mendengar juga.. bunyi crekA?a,?A|crekk.crekk.. alat kelamin kami yang
sedang berkelindan? Entahlah, aku tak berani membayangkan hal itu.
Anehnya, meski pun Liani sudah tahu kehadiran mereka, dia diam saja.
Tidak memberi tanda bahwa kekasihku dan temannya sudah pulang. Bahkan
seolah membiarkan mereka menonton kami yang sedang beradegan mesra di
atas ranjang.
Terdengar bunyi deheman kecil, dehem khas suara
perempuan. Seolah memaklumi kami yang masih dalam posisi senggama ini.
hmmmA?a,?A| aku tahu itu suara Cenit, aku bisa membedakannya.
Sedetik dua detik aku tak tahu apa yang harus kuperbuat, kemudian Liani
melakukan sersuatu yang tidak kuduga. Dia seperti melambaikan tangan
dari balik punggungku. Menyuruh kedua ‘adik’ kostnya itu masuk ke
kamarA?a,?A|
“Teruskanlah, Bang. Nggak apa-apa, kokA?a,?A|.”
Bisiknya di telingaku. “Ngapain malu.. kita kan sedang enak, kamu enak
aku enakA?a,?A|. Mereka juga pasti maklumA?a,?A|.”
Oh, ya?
Bercinta dengan orang yang bukan pacar, dan dilihat oleh mereka pula?
Apa pula ini?Exibit kah ini? Ya, sudah! Aku gak sempat memikirkan sejauh
itu. Kalau bagi Liani tidak apa-apa, dan Cenit serta Rinay pun justru
menikmati pemandangan iniA?a,?A|. kuteruskan saja.
Perlahan dua
gadis itu berlalu, seperti tak terjadi apa-apa, kecuali tawa kecil
Rinay yang terdengar. Aku memandangi mereka yang pergi menjauh,
tiba-tiba Cenit menoleh ke belakang. Dia menatap mataku langsung, di
bibirnya tersungging senyuman yang aneh A?a,?A| di situasi seperti
iniA?a,?A| senyum yang tampak nakal.
Aku tak tahu apa akan
terjadi sesudah ini, bagaimana hubunganku dengan Cenit? Bagaimana pula
aku akan menemui mereka setelah ‘permainan’ penuh keenakan ini? Tak bisa
lagi aku berlagak seperti seorang lelaki yang setia hanya pada satu
perempuan. Tapi tampaknya Cenit pun tak keberatan jika aku mengencani
kakak kostnya Liani.
Ah. Dunia ini memang anehA?a,?A| di tempat
yang tampaknya biasa-biasa saja ternyata tersimpan bakat-bakat cinta
yang terpendam yang menanti untuk dikeluarkan dan dinikmati setiap
lelaki semacam aku. Aku tak tahu harus bergembira atauA?a,?A| entahlah!
Aku meneruskan permainanku dengan Liani. Gadis itu sudah sampai ke
puncak syahwatnyaA?a,?A| kini giliran aku. Perlahan-lahan aku mulai
memompa lagi A?a,?A| kemaluanku naik turun menggesek kemaluan Liani yang
basah itu. Bunyi crek.. crek.. crek.. creeeekA?a,?A| terdengar ke
segenap ruangan.
Aku agak termangu mendengar suara ituA?a,?A| tidakkah akan sampai ke telinga mereka berdua yang sekarang sudah ada di kamarnya?
“Terusin aja, BangA?a,?A|.. Kalo enak ngapain juga di berhentiin” bisik
Liani seolah hendak menghapus keraguanku. Maka aku pun meneruskan lagi,
kali ini dengan irama yang lebih cepat danA?a,?A| tak lama kemudian
creettA?a,?A|crettttA?a,?A| sambil menekan aku keluarkan air maniku di
dalam kemaluan Liani yang mencengkram erat itu. Oh nikmatnya.
Beberapa menit telah berlalu. Sesudah menghapus keringat di dadaku Liani
mengenakan pakaiannya. Kemudian sambil bernyanyi-nyanyi kecil ia
merapikan rambutnya yang kusut masai. Wajahnya tampak puas. Sangat puas
telah beroleh kenikmatan yang selama ini didambakannya. Seraya
membetulkan tali beha dan menyempalkan payudara besarlnya ia berkata.
“Bang, aku masuk dulu ke dalamA?a,?A|. Nanti Cenit kusuruh keluar, ya!”
Aku hanya mengangguk mengiyakan, gadis itu pun bangkit dan berlalu dari
hadapanku. Sementara aku duduk termangu sambil menghisap sbatang rokok.
Tak lama kemudian Cenit keluar menemuiku, kali ini tidak memakai busana
yang dikenakannya tadi, tapi sudah berganti dengan gaun tidurnya yang
berwarna pink. Bahannya yang halus menampakkan lekuk tubuhnya yang
seksi. Aku menelan ludahA?a,?A| pasti dia bakal marah karena kelakuan
kami tadi.
Dia hanya tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya.
Tak tampak tanda-tanda emarahan di sana. sejenak dia hanya diam..
kemudian tiba-tiba dia bangkit dan ‘menyerbu’ ke arahku.
Melingkarkan tangannya di leherku dan menciumiku penuh nafsu. Aneh, dia
tidak marah, bahkan setelah melihat kami bercinta seolah nafsunya
bergelora ingin dipuaskan juga.
“CenitA?a,?A| maafkan.. aku
telahA?a,?A|” belum sempat kuselesaikan kalimatku dengan bernafsu dia
mencari bibirku dan menciuminya dengan garang. Oh,A?a,?A| gelagapan aku
dibuatnya. Aku tidak tahu, apakah dia marah atau sudah
terangsangA?a,?A|. Aku balas ciuman itu, lidahnya terjulur dan bertemu
dengan lidahku. Beberapa saat lamanya lidah kami berjalin berkelindan
seperti tak mau lepas. Dengan rakus pula dia hirup air liurku, meneguk
dan menelannya. Setelah puas giliran aku yang menghisap cairan mulut
itu. Setelah itu kami melepas ciuman dan saling memandang selama
beberapa saat.
Tanpa banyak berkata-kata dia menurunkan gaunnya
ke bawah, menampakkan dua gumpal buah dada yang tidak memakai beha.
Putting susunya meruncing dan tegang.
“Aku terangsang sekali
melihat kalian berdua tadiA?a,?A|. ” katanya terengah sambil
mengasongkan kedua susunya ke arahku. Aku pun menyambut, tangan kiriku
meremas dan mulutku mengulum puting susu yang satunya. Tiba-tiba
gerakankuterhenti. Dengan wajah kaget Cenit menatapku heran. Aku lupa
mematikan puntung rokok yang ku hisap tadi. Gadis itu tersenyum dan
kamipun melanjutkan permainan hangat ini. Buah dada besar montok dan
kenyal itu kukunyah sepuas hati.
Cenit mendesah keenakan.
Jemarinya mencengkram kepalaku, mengusutkan rambutku. Masih dalam posisi
duduk ia mengangkang .. melepas gaunnya yang sudah setengah
terbukaA?a,?A|. Dia pun tidak bercelana dalam sehingga gundukan
vaginanya yang tebal dan tidak berambut itu merekah di depanku.
Cairan bening meluap keluar. Mengalir di sela-sela celah kemaluannya.
Di tak pedulikannya. Dibiarkan lendir bening itu mengalirA?a,?A|. Bahkan
dia menyuruhku untuk memegangnyaA?a,?A| jemariku menyelusup ke liang
senggama Cenit, hangat dan sangat basah oleh cairan pelicin.
Kusentuh klentitnya yang merah dengan ujung jemariku. “AkhhA?a,?A|.”
Cenit melolong tertahan. “Geli, Kak!” desahnya tersentak. Kemudian
sembari memeluk leherku, dan mencium keningku dia mengajakku ke dipan
tempat aku dan Liani tadi bercinta.
Tak banyak cingcong
kurengkuh dan kugendong tubuh hangatnya ke dipan itu. Di sana dia
kubaringkan. Tapi ketika aku hendak membuka celana, tiba-tiba ia
mendudukkan tubuhnya yang sudah bugil itu. Aku heran, apa yang akan dia
perbuat.
“Bukalah celanamu, Kak!” katanya tak sabar sembari
menarik resleting celana panjangku. Setela memelorotkan celana dalamku,
dengan sangat bernafsu ia memegangi pangkal kemaluanku yang kembali
menegang.
“Besar dan nikmatA?a,?A|.” Seru Cenit sambil meremas-remas kemaluanku.
“Sekarang gilirankuA?a,?A|” katanya agak keras.
Ia turun dari dipan dan berdiri di sampingku, di dorongnya dadaku ke
arah dipan, menyuruhku berbaring disana. Aku menurut. Setelah aku
berbaring, Cenit pun menaikkan sebelah kakinya dan mengangkang di atas.
Perlahan dia menekuk tubuhnya dan memelukku dari atas.
“Masukkan, Kak.” Pintanya dengan nada gemas. Ia memegang batang
kelaminku itu dan memasukkannya ke dalam liang kemaluannya. Kemudian
dengan agak kasar dia menghenyakkan pantatnya ke bawah agar kemaluanku
masuk lebih dalam ke tubuhnya.
“EhhhhhA?a,?A|. Hhhhh” desahnya
kacau seperti anak kecil yang rakus menetek di susu ibunya. Dalam posisi
di atas dia menaik turunkan pantatnya dengan cepatA?a,?A| ohA?a,?A|
batang kemaluanku di cengkram dan di gesek-gesek seperti itu. Geli
rasanya.
Posisi di bawah jarang aku lakukanA?a,?A|. Tapi kali
ini aku menerima saja, karena tadi sudah lumayan capek meladeni Liani.
Kali ini Cenit yang giat menekan-nekankan pantatnya, maksudnya supaya
punyaku masuk lebih dalam.
Sembari memelukku erat, ia terus
mengempot-ngempotkan pantatnya. Bunyi crek crek crek terdengar
lagiA?a,?A| kali ini bahkan di tingkahi oleh jeritan-jeritan kecil yang
keluar dari mulut kekasihku.
Aku terus berbaring sembari
meremas-remas pantatnya yang mulai berpeluh itu. Cairan vagina terasa
terus merembes dari kemaluan Cenit. Dia sudah sangat terangsang. Liang
kemaluannya sangat basah dan panas. Sesekali ia menekan dan menahan.
Seolah hendak melumat habis seluruh kemaluanku dengan vaginanya. Terang
saja aku pun semakin keenakan.
Diam beberapa saat menahan
tekanan, dia pun mengendurkan dan memulai lagi gerakan naik turunnya.
Aku terus meremas-remas pantatnya. Dadanya yang kenyal itu menekan ke
arah dadaku, hampir membuatku sesak nafas. Tapi aku pasrah.. lha wong
enak rasanya.
Selama sepuluh menit Cenit bergerak naik turun,
nggak cape-cape kelihatannya. Tubuhnya semakin basah oleh keringat,
bahkan wajahnya sudah dipenuhi keringat sebesar-besar biji jagung.
Sebagian mengalir ke ujung hidung dan menitik menimpa wajahku. Sesekali
ia mengibaskan rambutnya yang tergerai..
Aku mencoba
memiringkan kepala mencoba mengurangi titikan keringat di wajahku. Pada
saat itulah kembali aku terkesiap. Di ujung ruangan, di pintu kamar
Cenit, tegak sesosok tubuh perempuan menatap kami dengan matanya yang
bulat.
Mata besar milik Rinay, teman sekost Cenit. Dia menatap
kami tanpa berkedip. Tangan kanannya tertangkup di dada. Sementara yang
kiri tampak meremas-remas ujung gaun tidurnya yang di atas lutut.
Ketika kami saling memandangA?a,?A| dalam posisi Cenit masih di atas
dan asyik dengan empotan-empotannya. Perlahan tangan kiri Rinay
mengangkat ujung gaun merahnya. Terus terangkat ke atas menampakkan paha
gadisnya yang padatA?a,?A|
Entah sadar entah tidak gaun itu
sudah sedemikian terangkat, sehingga aku bisa melihat celana dalam yang
tersingkap. Kemudian ia menarik pinggir celana dalam ituA?a,?A|
menampakkan segumpal tumpukan daging berbulu dengan celah merah di
tengahnya.
Ujung jemari menyentuh bagian tengah celah itu.
Menekannya dan memutar-mutarnya sedikit. Ya ampunA?a,?A| kemudian dia
menatapku.. dengan mata setengah terpejam.
Saat itulah Cenit
menengadahA?a,?A|. Dan menyurukkan kepalanya ke leherku, memelukku kuat
dan mulai mendesah berkepanjangan. Pantatnya menekan kuat sampai seolah
kemaluanku mau ditelannya sampai habis.
“Kak.. enak sekali..
ahh” terasa kemaluan Cenit berdenyut hebat, tubuhnya bergetar tak kuasa
menahan nikmatA?a,?A| nafasnya sangat memburuA?a,?A| dan..
Dia
pun lunglai dalam pelukankuA?a,?A|. Sementara air mani gadis itu
mengalir tak tertahankan, meluap dan mengalir membasahi sampai bagian
perutku.. aku peluk gadis itu di punggungnyaA?a,?A| membiarkan ia
mengendurkan syaraf setelah ia tadi sangat tegang menikmati puncak
orgasmenya.
***
Sampai beberapa menit kami masih
berpelukan, kejantananku yang masih tegang itu masih berada di dalam
’sangkar’-nya. Cenit diam tak bergerak dalam pelukanku, sepertinya dia
lupa ada sesuatu yang bersemayam dalam tubuhnya.
Perlahan
gadisku ini mengatur nafasnya yang tidak teratur. Setelah agak
redaA?a,?A| perlahan dia bangkit dan melepas persetubuhan kami. Lambat
ia mengangkat pantatnya ke atas. Perlahan alat kelaminku itu keluar dari
vagina Cenit. Ketika sudah keluar seluruhnyaA?a,?A|. Cairan vagina yang
kental nampak melumuri batang kemaluanku. Ketika bagian ‘kepala’-nya
akan keluar terdengar seperti bunyi plastik lengket yang basah akan di
lepas..
Clep..crrrllek. Cenit tersenyum mendengar suara itu.
Entah suara lipatan kemaluannya atau karena lendir yang begitu banyak
melumuri batang kemaluanku.
Ia pergi ke tengah ruangan dan
memakai gaunnya kembali, rona wajahnya menampakkan kepuasan yang tiada
terkira. Sambil bernyanyi kecil, seperti baru sudah pipis, ia memebenahi
rambutnya yang kusut masai. Dan berjalan ke belakang rumah,
meninggalkanku yang hendak mengenakan celana dalam ku.
Belum
sempat aku memakai celana itu, tiba-tiba Cenit sudah kembali. Membawa
sehelai kain sarung dan menyuruhku mengenakannya. “Pakai ini aja, Kak!”
katanya seraya mengambil celana panjang dan kolorku, melipatnya dan
merengkuhnya dalam dada. Kemudian ia pun kembali ke belakang.
Tak lama kemudian ia datang lagi, membawaku segelas minuman, kalau tadi
Liani membawakanku segelas air putih, kali ini Cenit menyuguhiku dengan
teh manis. Aku segera mereguknya karena merasa kehausan, bayangkan saja
melayani dua wanita secara bergilir tanpa istarahat sama sekali. Capek
donk!
Ketika aku meminumnya, alis mataku terangkat, minuman apa
ini? Rasanya kok pahit banget? Sebelum sempat bertanya Cenit berkata
perlahan, “Itu sari dari akar Pasak Jagad Kak!”
“Haa?
Kekasihku tersenyum, itu kan obat kuatnya lelaki, kalau minum jamu itu
pasti bakal melek semaleman, kataku sesudah menelan tegukan terakhir.
Gadis itu hanya tertawa kecil. ‘Biar aja nggak tidur semalemanA?a,?A|
besok kamu kan nggak kerja, tidur aja sepuasnya di sini.
Setengah jam kemudian kami masih ngobrol di ruang tamu. Masih
terbayang-bayang permainan kami berdua barusan. Tak disangka begitu
bernafsunya Cenit, sampai-sampai kuat main di atas hampir setengah jam
lamanya, sementara aku anteng aja di bawah.
Tiba-tiba Cenit
bangkitA?a,?A|”Kak,” katanya, “Aku ke dalam sebentar.” Aku mengiyakan
saja, kupikir dia mungkin mau sedikit merapikan dandanannya yang agak
amburadul itu.
Aku akan menghela nafas ketika terdengar dia memanggilku dari kamar.
“Sini sebentar, Kak!”
Aku pun bangkit dan berjalan menuju ke kamarnya, sebelum tiba di pintu
kamarnya aku melewati kamar Liani yang hanya dihalangi secarik kain
gorden, diam-diam ku singkap tirai kamar itu. Tampak Liani tertidur
pulas, masih mengenakan gaun yang tadi, pahanya yang terbuka nampak
putih dan mulus.
Kamar berikutnya adalah kamar Rinay,
hmmmA?a,?A| jantungku berdegup agak kencang. Apa yang dilakukannya tadi
ketika aku dan Cenit sedang menikmati seks? Entahlah, aku tak tahu. Tapi
aku pengen tahu sedang apa dia sekarang?
Perlahan kusingkapkan
juga tirai pintu kamarnya itu. Kasur tempat tidurnya masih tampak rapi,
bantal tersusun di tempatnya. Ke mana cewek itu? Kok nggak ada di
biliknya? Sedikit heran aku terus melangkah menuju kamar Cenit.
“Masuklah, Kak! Jangan malu-malu, aku tahu kamu sudah berada di situ.”
Kata Cenit lagi, bergegas aku pun masuk ke kamarnyaA?a,?A|
Oh
di sini rupanya Rinay, dia sedang tidur telungkup di dipan Cenit,
sementara cewek ku itu sedang menyisir rambutrnya menghadap ke cermin.
Tanpa mengacuhkan aku dia pun menyuruhku duduk di dipan dengan gerakan
tangannya.
Dipan ukuran single itu lumayan sempit, apalagi
sekarang sudah ada Rinay yang tidur di sana. Cenit berbalik menghadapku,
ditatapnya aku dengan tajam. Kemudian perlahan dia mengalihkan
pandangannya ke tubuh temannya yang masih telungkup itu.
“Terserah kamu, Kak. Mau di sini atau di kamarnyaA?a,?A|. Aku ikhlas
aja, yang pentingA?a,?A|. Dia bisa juga ikut merasakan A?a,?A|.”
Aku
melongo? Dia suruh aku menikmati pula tubuh Rinay!? Tubuh perempuan
sintal yang sedang tertelungkup ini? Cenit mengangguk pasti.
“Kami lihat apa yang kalian lakukan, Rinay pun lihat kita tadiA?a,?A|
kami bertiga bersahabat, resminya kamu memang milik akuA?a,?A| tapi..
berbagi antar sahabat tak ada salahnya, bukan? Lagi pula aku rela kok,
selama tidak dengan yang lain selain mereka.”
Dalam hati aku
cuma bisa mengangkat bahu. Kalau dia sudah mengikhlaskan temannya, dia
tidak marah apalagi jadi membenci aku, lagi pula kalau dengan begitu dia
jadi terangsang dan menikmati juga, apa salahnya.
Aku berpikir
cepat, katakanlah malam ini adalah semacam sex party, dan aku menjadi
rajanya sementara menjadi ratuku yang harus kupuaskan, oke saja sih.
Hehehe. Kebetulan aku ingin mencobai juga tubuh Rinay yang berkulit sawo
terang ini.
“Aku menunggu di kamarnya,” kataku kepada Cenit, cewek itu mengangguk setuju.
Dipan singel Rinay terasa cukup nyaman. Bantalan busanya masih cukup
baru, dia memang belum lama kost di rumah ini, mungkin baru setengah
tahun. Aku berbaring dengan rileks. Memandangi dinding kamar yang
dipenuhi poster Cenit sambil memikirkan apa yang telah kudapat malam
ini.
Mula-mula Liani menyerahkan dirinya kepadaku, kemudian
Cenit yang memintaku untuk memuaskannya, dan sekarang Rinay, gadis
paling pendiam yang jarang ngobrol denganku. Gadis ini pun menginginkan
ku pulaA?a,?A| hehehe.. dasar gede milik, yeuh
Semilir halus
wangi parfum masuk ke hidungku.Terdengar pintu kamar terbuka, perlahan
Rinay masuk ke kamar itu. Seperti orang baru bangun tidur. Ia langsung
duduk di dipan itu, “Ada apa, Kak?” tanyanya seolah tak mengerti. Aku
tersenyum, pandai juga dia menyembunyikan perasaan sebenarnya.
“Eh, kain sarung siapa yang kamu pakai itu, Kak?”
“Hehe.. ini pemberian Cenit tadi..”
Kedua bola mata gadis itu membulatA?a,?A| menatapku seolah tak percaya.
Terus terang saja, dia cantik juga. Rambutnya yang ikal itu
dibiarkannya tumbuh sampai sebatas punggung. Meski baru bangun ‘tidur’
tapi tak mengurangi kesegaran dan pesona cantik yang terpancar di
wajahnya.
Aku menarik gadis itu ke pelukanku, tubuhnya terasa
berat karena ia seperti menolak, tapi kemudian malah dia yang merangsek
dalam dekapanku.
“Jangan , Kak! Nanti Cenit marah..” katanya berbasa-basi.
“Dia marah kalau aku tidak menayangimu jugaA?a,?A|.”
“Kamu bisa aja, Kak!” katanya sambil menengadah dan menyentuh pipiku.
Aku mengecup bibirnya, dia sangat menikati kecupan kecil itu, matanya
terpejam, tubuhnya melunglai, dan aku pun memeluk tubuh sintal itu lebih
erat.
Ia membalas pelukanku dan membiarkan bibirnya
kulumatA?a,?A| beberapa kali ia mengeluh nikmat. Terasa tubuhnya
bergetar ketika aku mulai merengkuhnya. Kemudian aku pun mulai menyusuri
seluruh lekuk dan liku tubuh gadis itu. Semakin lama tubuh itu terasa
panas, setiap gumpalan dan tonjolan dagingnya terasa begitu membara
dipenuhi gairah terpendam.
Aku membaringkan tubuhnya sementara
kedua tangannya terus melingkar di leherku. Nafasnya terdengar agak
memburu, gadis ini sudah mulai terangsang. Kuperiksa bagian kemaluannya
dengan jemariku. Ternyata belum cukup basah, masih terasa agak kering.
Kucumbu dia terus supaya gairahnya lebih menggeloraA?a,?A|.
Entah berapa lama kami saling mencium saling menyusup dan berkelindan,
aku pulang suka buah dadanya. Sangat kenyal, besarnya pun sedang saja,
tapi putting susunya sangat kecil, hanya sebesar biji kacang hijau.
Tampak sekali putting itu sudah mengeras.
Ketika kuremas-remas
buah dadanya, wajah gadis itu menengadah, matanya terpejam rapat, bibir
agak terbuka. Setiap remasan adalah rangsangan bagi tubuh segar ini.
Semakin intensif aku meremas, semakin intens juga dia menikmatinya.
Ketika kuraba kemaluannya, lendir pelicin yang kental sudah mulai
keluar.
Perlahan aku mengusap-usap jembut halus yang tumbuh di
sana. Sesekali agak kutekan agar menyentuh bagian klentitnya. Tuibuhnya
menggelinjang karena geli.
Perlahan tapi pasti cairan pelicin
itu mulai keluar, merembes ke permukaan dan mengakibatkan jembut-jembut
halus itu terasa mulai kuyup. Hmmm.. Rinay sudah siap untuk dimasuki.
Sambil memegang pangkal kemaluanku aku pun memasukkannya. Terasa licin
dan rapat. Batang kemaluanku seperti menembus lipatan daging hangat yang
basah oleh lendir.
CreepA?a,?A|. Masuklah aku ke tubuh Rinay.
Gadis itu melepas nafas panjang, merasakan nikmatnya gesekan di
kemaluannya. Entah kenapa aku sangat-sangat terangsang dengan gadis ini,
mungkin ini bukan yang pertama baginya, tapiA?a,?A| dia melakukannya
seperti baru untuk pertama.
Sepuluh menit pertama kami mengadu
rasa, menggesek-gesekkannya dengan gerakan rutin. Sementara Rinay pasrah
saja sambil memelukku dan membenamkan wajahnya di leherku. Nafasnya
semakin lama semakin memburu, tubuhnya semakin panas. Titik-titik
keringat mulai keluar dan lama-lama peluhnya semakin membanjir.
Kota kecil ini memang lumayan panas meski di malam hari, apalagi rumah
kost itu tidak berAC, tubuhku pun kembali berkeringat. Tapi kami tak
peduli, kami terus berpelukan menikmati pergumulan itu.
Kami masih
bergumul ketika akhirnya memasuki tahap kedua. Kukeluar-masukkan penisku
secara berirama di liang kemaluannya yang pasrah itu. Gadis itu
memelukku lebih kuat. Tak peduli dengan tubuh yang bersimbah peluh.
‘CrekecrekecrekA?a,?A|’. Sepuluh menit lamanya aku menggesek-gesek
kemaluan Rinay dengan kemaluanku. Terasa punyaku semakin menegang keras.
Kemudian aku menekanA?a,?A| Rinay membalas dengan mengempot ke atas.
Menggerakkan pinggulnya berputar-putar, ganas sekali putarannya. Aku
naik turunkan lagi pantatku beberapa kali, kemudian kutekan
dalam-dalamA?a,?A|.
“AhhhA?a,?A|,” gadis itu mendesah nikmat.
Kemudian membalas lagi dengan tekanan ke atas, sambil menggoyang
pantatnya ke kiri dan kekanan. Lipatan kemaluannya yang hangat terasa
semakin kenyal dan licin.
Beberapa kali kami melakukan itu, aku
pun jadi tak tahan. Tapi dia belum mencapai puncak. Aku akan membuat
dia duluan merasakan kenikmatan.
Aku pun semakin aktif mengocok
dan menekan memek Rinay. Tulang kemaluan kami beradu, bibir kemaluanya
yang tebal menahan tekanan itu dengan nafsu, terasa hangat dan sangat
basah karena lendir mani Rinay sudah melimpah sedari tadi.
Dua menit kemudian gadis itu melolong merasakan vaginanya berdenyut nikmat.. “OoohhhhhA?a,?A|.”
Aku membantunya dengan menekan semakin dalam. Rinay pun membenamkan
tubuhnya ke kasur, menahan tindihanku sambil melepas nikmat, seiring
dengan mengalirnya air mani prempuan itu dengan lebih deras. Merembes
dari lipatan-lipatan kemaluannya.
“Enak sekali, KakA?a,?A|eigh oh…!”
Berbarengan dengan itu akan pun mencapai puncak. Kemaluanku terasa
berkedut seiring dengan menyemburnya air maniku di liang senggama gadis
itu. Sementara liang senggama Rinay pun menggepit-gepit tak terkendali
karena tak kuasa menahan nikmat yang luar biasa.
Kami masih
berpelukan ketika rasa nikmat itu tercapai sudah. Gadis itu diam dalam
pelukanku, tubuhnya sangat basah oleh peluh. Hawa panas pun terasa
menyergap. Berangsur kami saling melepas pelukan.
Perlahan
gadis bangkit itu duduk dari posisinya. Gurat-gurat kepuasan terpancar
di wajahnya yang cantik. Sekilas ku lihat memek Rinay yang masih merah
dan bibirnya tampak membengkak, cairan-cairan lendir masih menetes dari
sela kemaluannya.
“Enak, Rinay?” gadis itu mengangguk. Kemudian
ia mengusap keringat yang menitik di dadaku. “Dadamu penuh dengan
peluh, Kak. Sini kuusap,” katanya sambil mengelus lembut dadaku yang
memang penuh dengan keringat.
Beberapa saat lamanya kami
kemudian berbaring bersama di kasurnya yang sempit itu. Rambutnya yang
ikal dan panjang itu kubelai. Ia bergerak, menyusupkan tangannya di
leherku, kemudian memintaku terlentang, dia ingin tidur di dadaku,
katanya. Beberapa saat kemudian Rinay pun jatuh tertidur, tak menyadari
air liurnya yang menitik dari sudut bibir. Aku pun segera terbang ke
alam mimpi.
Entah jam berapa kami terbangun. Ketika itu aku dan
Rinay masih berpelukan, sementara di luar terdengar suara-suara seperti
sedang bernyanyi. Oh, ternyata hari sudah siang. Itu adalah suara Cenit
yang sedang bernyanyi kecil, sementara di kejauhan terdengar suara
orang sedang mandi, barangkali Liani sedang membersihkan tubuhnya.
Rinay pun sudah mulai terjaga, ia masih memelukku, buah dadanya yang
kenyal itu menempel erat di dadaku. Dari ruang tengah terdengar Cenit
sepertinya sedang menyapu lantai. Sementara dari bibirnya terdengar
nyanyian yang sekarang sedang populer.
Tiba-tiba terdengar
suara pintu dibuka, kemudian gorden disingkapkan, dan masuklah Cenit ke
dalam kamar, menatap kami yang masih bugil hanya berselimut kain sarung.
“Hei, bangun! Belum puas juga ya!”
Aku pura-pura tidur sambil memeluk Rinay lebih erat. Gadis itu
terkikikA?a,?A| tapi dia juga pura-pura meneruskan tidurnya. Cenit
berlagak marah dan menarik kain sarung penutup tubuh kami.
“Apa mau diteruskan lagi tidurnya? Udah siang tauu,”
Aku menarik kain sarung itu, malu karena kemaluanku sedang menegang
setelah beristirahat total beberapa jam. Tapi kalah cepat, Cenit sudah
menangkap batang kemaluanku dan mengusap-usap dengan jemarinya.
“Oh, jauh lebih besar dari gagang sapu iniA?a,?A| pantesan enak
sekali.” Guraunya sambil tergelak sendiri. “Ya udah, kalau kamu pengen
lagi, Rinay. Tuh mumpung lagi berdiriA?a,?A|”
Hampir tak kuat
aku menahan tawa dengan canda Cenit, tapi tampaknya Rinay menanggapinya
dengan serius, dia menggerakkan pantatnya, memelukku dari atas dan
mengempot ke bawah. Bibir kemaluannya terasa menempel di batang
kemaluanku.
“Tuuh, kan! Pasti mau lagi deh! Terusin aja, Rinay.
Enak kok!” sergah Cenit sambil memegangi pinggang gadis itu,
menolongnya mengangkat panta, aku pun memegang pangkal kemaluanku,
menghadapkannya ke memek Rinay yang hangat.
“Udah pas belum?”
tanya Cenit, Rinay mengangguk, perlahan Rinay menurunkan pantatnya,
makaA?a,?A|. Srrluuuup.. batang kemaluanku masuk lagi ke memek Rinay.
“Main dari atas enak, lho Rinay! Tekan aja biar lebih kerasaA?a,?A|”
bisik Cenit agak keras.
Seperti tak peduli kehadiran Cenit di
kamar ini, kami mengulangi permainan semalam, tapi kali ini Posisi Rinay
ada di atas. Kusuruh gadis itu menegakkan tubuhnya. Ia menurut dan
mendorong tubuhnya dengan meletakkan telapak tangannya di dadaku.
Sekarang posisinya berubah, aku berbaring sementara Rinay duduk
mengangkang di atasku. Alat kelamin kami telah menyatu, ketika ia sudah
duduk dengan benar, nampak memeknya seperti sedang mengulum kemaluanku
sampai ke pangkalnya. Kelentitnya nampak menonjol dan cairan itu kembali
mengalir membasahi jembut-jembut halusnya.
Kami saling pandang
sementara masih bersatu, bibir Rinay tersenyum, beberapa kali ia
menyibakkan rambutnya yang kusut. Perlahan dia mulai mengayun, gerakanya
seperti orang sedang naik kuda. Naik turun berirama.
Semenit
aku lupa dengan kehadiran Cenit di sana. ternyata ia berdiri di belakang
Rinay, memperhatikan kami yang sedang bercinta dengan gaya seperti itu.
Gadis itu menyeringai lebar menampakkan sederetan giginya yang putih
bersih.
Kemudian tiba-tiba ia membuka bajunya, menampakkan beha
putih dengan buah dada besar di baliknya. Ia pun membuka beha itu,
melemparkannya ke sudut kamar, menarik rok panjang, membuka celana dalam
sampai akhirnya bugil sama sekali.
Ia pun menyerbu ke arahku,
membenamkan wajahku di susunya yang besar dan kenyal, meremas-remas
kepalaku dengan jemarinya. Sementara Rinay terus asyik mengayun-ayunkan
pantatnya naik turun.
Aku memeluk punggung Cenit, mengulum dan
mengunyah susunya yang kenyal. Cewek itu mendengus-dengus ketika putting
susunya tergigit lembut.
Lama kami bercinta segitiga seperti itu, mungkin ada seperempat jam.
“Kita enak-enakan bareng, Kak.” Bisik Cenit sambil meremas. Aku setuju,
dia sudah hampir sampai puncak, aku pun tak tahan dengan ulah Rinay,
yang mengocok-ngocok dari atasA?a,?A|.
Cenit melepas pelukannya
dan naik ke atas ranjang, mendudukkan pantatnya di dadaku mengangkang
lebar menampakkan memeknya yang tercukur rapi. Gundukan dagingnya putih
mulus dan kemerahan, bibir kemaluannya tebal dan dipenuhi cairan kental
dan hangat.
Ia memajukan memeknya sehingga sampai di mulutku.
Kemudian mulai menekan ke arah mukaku. “AhhA?a,?A| ayo Kak! Aku udah gak
tahan lagi nih.”
Sambil meremas pinggang dan pantatnya aku pun
beraksi. Mengganyang habis kue pie lembut dan basah itu. Cenit segera
merintih-rintih ingin segera melepas nikmat. Sementar di belakangnya
Rinay tiba-tiba mengempot dan menekan ke bawah,. Tubuhnya ambRinay ke
depan, menimpa punggung Cenit yang sedang menekan mukaku.
Wajahku semakin tertekan oleh gumpalan memek Cenit, sementara pahanya
menggepit kedua pipiku dengan kuatnya. AkkkhA?a,?A| aku hampir tidak
bisa bernapas. Ya ampun!
“Keluarin bareng, Kak! Aghhh.. ahhh!”
Cenit menekan, Rinay mengempot, danA?a,?A| aku sesak nafas!
Terdengar suara rintihan panjang berbarengan, Cenit dan Rinay sedang
dirasuki kenikmatan. Terasa memek Rinay berdenyut-denyut sembari
melepaskan cairan kewanitaannya, sementara mulutku semakin basah oleh
cairan memek Cenit yang juga berdenyut melepas nikmat.
Kedua
tubuh cewek itu lunglai setelah menikmati segalanya. Mereka ambruk
berbarengan ke tubuhku. Berat sekali rasanya menahan dua tubuh perempuan
sekaligus, montok-montok lagi.
Seperti menyadari hal itu,
Cenit dan Rinay pun bangkit, perlahan Cenit turun dari ranjang,
sementara Rinay pun perlahan mengangkat pahanya, kedua tangan bertumpu
pada dadaku.
Saat itulah kemaluanku keluar dari liang
sanggamanya, cleep.. terdengar seperti bunyi plastik lengket yang sedang
dibuka. Tampak kemaluanku masih menegang dan basah bergelimang cairan
memek Rinay.
Aku terdiam sejenak, tak tahu harus berbuat apa,
karena aku belum lagi mencapai puncak gadis-gadis ini sudah menghentikan
permainnya, ketika itulah tiba-tiba Liani masuk ke dalam kamar, melihat
kepada Rinay dan Cenit yang sedang mengenakan pakaiannya kembali.
Ketika ia mengalihkan pandangannya ke arahku, matanya terpaku menatap
kejantananku yang masih berdiri dengan perkasa, merah dan mengkilat
bermandikan cairan kemaluan Rinay.
“Kasihkan sama Liani, Kak!”
kata Cenit sambil menyempalkan susunya yang montok itu ke balik beha.
Wajah Liani semburat memerah. Mungkin dia tadi mendengar lolongan Cenit
dan Rinay yang berbarengan menahan geli dan enak. Aku tak tahu apakah
dia juga sudah terangsang dan ingin di gelitik nikmat lagi?
Tampaknya iya, ia mengangkat roknya menampakkan kedua paha yang padat
dan putih mulus. Sementara Rinay dan Cenit bergegas keluar kamar,
meninggalkan kami berdua saja di sana. semerbak wangi harum tubuh Liasni
menusuk hidungku. Gadis ini baru selesai mandi.
Liani naik ke
ranjang bersiap-siap hendak memasukkan kejantananku ke memeknya yang, ya
ampun, ternyata sudah bengkak merekah merah dan basah pula. Tapi siapa
tahan menahan tubuhnya yang tinggi montok itu setelah tadi ditindih oleh
dua gadis montok sekaligus.
Aku bangkit duduk, mendorong
sedikit tubuh Liani, gadis itu seperti kaget. Tapi dia menurut. Kemudian
kusuruh ia berdiri dan A?a,?A| ini dia aku ingin merasakan sesuatu yang
lain.
Kusuruh ia berdiri membelakangiku dan menumpukan
tangannya di dipan. Posisinya sekarang menungging di depanku, Liani
mengerti, ia mengangkat pantatnya lagi, dari belakang disela-sela
bongkahan pantatnya, nampak kemaluannya membelah. Cairan kental
menitik-nitik banyak sekali.
Meski nafasnya ditahan, aku tahu
gemuruh di dadanya sudah sedemikian hebat. Tampak dari buah dadanya yang
menggelantung itu bergetar-getar menahan dentaman jantungnya yang
meningkat dahsyat.
Aku ingin masuk dari belakang dan kemaluan
Liani sudah siap untuk kutusuk dari arah itu. Liani semakin menunggit
menampakkan bongkahan pantat dan memek yang merekah. Aku maju
menyorongkan kejantananku ke arah belahan nikmat itu. Creepp..
kejantanankupun coba menerobos dan berusaha keras memasuki liang
senggama Liani yang terbuka. Tapi gumpalan pantat Liani cukup menahan
gerakananku.
Egghh.. aku mencoba lagi dan menekan lebih kuat ke
depan. AkhirnyaA?a,?A| masuk juga. Oh, rasanya seperti dipilin-pilin.
Aku menekan lagiA?a,?A| kemaluan kami semakin berjalin, tapi bongkahan
pantat Liani seolah menahan gerakanku sehingga aku harus menekan agak
lebih kuat.
“EmhhA?a,?A|.” rintih Liani tertahan. “Tekan , BangA?a,?A|. Emmghhh”
Aku bergerak maju mundur dan menekan-nekan, sekujur batang kemaluanku
rasanya seperti dicengkram. Sambil agak membungkuk aku mencoba meraih
buah dada Liani, meremas keduanya dari belakang. Hangat besar dan sangat
kenyal. Putingnya kuputar-putar dengan dua ujung jari. Membuat gadis
itu menggelinjang hebat dan semakin mengangkat pantatnya tinggi-tinggi
agar kejantananku masuk lebih dalam.
Tubuh kami semakin
berkeringat ketika rasa enak itu semakin memuncak. Aku pun menekan dan
menggosok-gosok lagi dinding memek Liani yang merapat. Agak sulit main
dari belakang, tapi kami menikmatinya. Beberapa manit kami menikmati
permainan itu. Tubuh Liani maju mundur tertekan oleh gerakan tubuhku.
Ketika sedang asyik tiba-tiba gorden kamar kembali terkuak. Sosok tubuh
Rinay masuk berkelebat, seperti tak memperhatikan kami gadis itu menuju
ke ujung dipan, ternyata celana dalamnya ketinggalan di sana.
Kami tak mempedulikan kehadirannya dan terus saling menekan. Aku menekan
ke depan sementara Liani menekan ke belakang. Kemaluan kami sudah
begitu menyatu erat bermandikan cairan kental. Tubuh kami pun menegang
dan basah oleh keringat yang membanjir. Rasa nikmat semakin meningkat,
semakin lama semakin hebat.
“AghhhA?a,?A|hhhh” aku menggeram
menahan rasa. Denyutan-denyutan penuh rasa nikmat menyerang kemaluanku.
Liani merintih tak kalah dahsyatA?a,?A| bahkan lebih hebat dari erangan
Cenit dan Rinay berbarengan.
“BangA?a,?A| agh! Enak banget,A?a,?A|oh Aku gak tahan lagi!”
Samar kulihat Rinay mengenakan celana dalamnyaA?a,?A|. Ketika itu pula
aku dan Liani saling menekan hebatA?a,?A| menahannya dan merasakan
detik-detik penuh kenikmatan. Nafas Liani melenguh-lenguh, keringat
bercucuran dari sekujur tubuhnya. Memeknya menyempit dan A?a,?A|
srrrA?a,?A|.. keluar banjir yang hebat. Tubuhnya bergetar menahan rasa
geli yang luar biasa. Aku pun menekan semakin dalam.
MmhhhA?a,?A| berkali-kali kemaluanku seperti meledak dalam cengkraman
memek Liani. Berkali-kali pula lipatan kemaluan gadis itu menyempit dan
menggenggam kemaluanku kuat-kuat ketika ia pun melepas nikmat di pagi
nan cerah itu.
Rinay mendehem kecil ketika kami menyudahi
permainan itu dengan rasa puas. Liani menjatuhkan tubuhnya yang basah
oleh titik keringat di dipan, menelentang dengan nafas masih
terengah-engah. Bibir kemaluannya nampak membengkak, merah dan berkilat
penuh dengan lendir. Rinay pun diam-diam keluar dari kamar, di dekat
pintu ia menyibakkan rambut ikalnya, menjeling ke arahku, setelah itu ia
pun berlalu.